Thursday, October 18, 2012

Karakter Jawa adalah Karakter Nabi

Oleh: Ibnu Malik, S.Pd.I.
Suku Jawa adalah suku terbesar yang ada di Indonesia. Sebagai bukti, kemana pun kita melangkahkan kaki, ke seluruh pelosok negeri, kita pasti akan menemukan orang dari suku Jawa. Mereka tersebar dan mendiami kawasan tersebut meskipun jumlahnya minorotas. Tak hanya karena keragaman budaya, orang Jawa juga terkenal akan keramahtamahannya. Banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia dan terpukau dengan “keunikan” budaya dan orang jawa.
Sepanjang sejarah, orang jawa telah banyak mempengaruhi berbagai budaya yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, para ulama dan santri yang ada di wilayah Sumatra telah terbiasa mengkaji dan membaca kitab-kitab dengan terjemahan jawa. Bahkan ada beberapa “wirid” yang menggunakan bahasa jawa. Penyebabnya adalah, pada tahun 1800 an, penyebaran Islam di Nusantara dilaksanakan oleh wali songo yang berasal dari jawa. Maka tidak heran jika banyak hal di Nusantara ini yang mendapat pengaruh dari jawa.
Kebesaran budaya dan orang jawa telah membuat para peneliti dari manca Negara terpesona. Di masa penjajahan Belanda, salah satu peneliti yang bukunya masih terbit sampai sekarang. Ia bernama Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (lahir di Jamaica6 Juli 1781 – meninggal di LondonInggris5 Juli 1826 pada umur 44 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang terbesar. Ia adalah seorang warga negara Inggris. Ia dikatakan juga pendiri kota dan negara kota Singapura. Ia salah seorang Inggris yang paling dikenal sebagai yang menciptakan kerajaan terbesar di dunia. Ia menulis buku yang terkenal dan masih banyak dijual sampai sekarang “The History of Java” (Thomas Stamford Raffles, 1817) . Ia banyak menulis tentang manusia, aktifitas, dan budaya jawa. Ini mencerminkan kekagumannya terhadap jawa. Buku tersebut terbit di berbagai Negara, bahkan sebelum di Indonesia telah terbit di London Inggris.
Karakter Tradisi Suku Jawa
1.      Ramah
Suku jawa dikenal dengan sikap sopan, ramah, santun, dan menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung. Mereka lebih cenderung menjaga etika berbicara baik secara isi, bahasa, perkataan, maupun objek yang diajak berbicara. Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati.
2.      Religius, eling sangkan paraning dumadi
Manusia Jawa berkeyakinan bahwa urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan). Sikap ini adalah sikap Tauhid seorang hamba. Karena suatu saat manusia akan kembali kepada yang menghidupkan. Manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, maka manusia harus bersiap untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup. Nasihat eling sangkan paraning dumadi menjadi pengingat agar manusia selalu menjaga sikap dan perbuatan di dunia karena kelak akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Sehingga dalam menjalani hidup manusia Jawa akan senantiasa golek dalan padhang, berbuat lurus, tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan.  Sikap-sikap tersebut menunjukkan religiusitas masyarakat Jawa yang sesuai dengan ayat-ayat dalam Alquran.
3.      Urip samadya
Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya. Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Sikap hidup samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Sikap ini adalah sikap qonaah yang menganjurkan seseorang untuk menerima apa yang ada. Berusaha semampunya terhadap apa yang dicita-citakan. Prinsip hidup ini juga melahirkan sikap nrima ing pandum, menerima dan bersyukur atas segala yang diberikan oleh Allah SWT. Namun demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima ing pandum ini diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.
4.      Rereh, ririh, dan ngati-ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam bertindak. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati, berarti manusia dapat menguasai dirinya dan mengendalikan nafsunya. Manusia akan sempurna bila dapat menguasai nafsu. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati maka seseorang dapat menempuh perjuangan yang mulia.
5.      Menjauhkan diri dan membenci watak adigang, adigung, adiguna.
Watak adigang adalah watak sombong, karena mengandalkan kekayaan dan pangkat. Watakadigung adalah watak sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan orang lain. Watak adiguna adalah watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat (Herusatoto, 2000:83). Sikap ini menjadikan seseorang bersikap sapa sira sapa ingsun, yang merupakan gambaran sikap sombong. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus dihindari. Seseorang justru harus bersikap ramah dan menghargai sesama manusia. Jangan berlaku seolah-olah menjadi manusia yang ”paling”. 
6.      Aja dumeh
Kata yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat diterapkan dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh pinter, aja dumeh kuasa, aja dumeh kuwat,dan sebagainya. Aja dumeh sangat dekat dengan watak adigang, adigung, adigunaAja dumehmengandung maksud “jangan mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan membawa seseorang pada sikap rendah hati, sederhana, tidak merasa “paling” dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya.
7.      Mawas diri
Mawas diri adalah tindakan untuk melihat ke dalam diri sendiri, mengukur nilai dan kemampuan diri. Dengan mawas diri seseorang akan selalu berupaya melihat kekurangan diri sendiri. Sikap ini menjauhkan seseorang dari sikap merasa paling benar, sehingga tumbuh rasa saling menghargai sesama. Menyadari bahwa diri tidak sempurna  akan membuat seseorang menjadi tidak mudah mencela orang lain. Mawas diri menjauhkan seseorang dari sikap sombong.
8.      Tepa slira
Tepa slira berarti tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang lain, nepakke awake dhewe. Apabila kita merasa senang dan bahagia jika orang lain berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga berusaha bersikap baik terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki sikap tepa slira tidak akan mburu menange dhewenggugu karepe dhewe, dan nuhoni benere dhewe. Bila sikap tepa slira ini bisa dimiliki oleh setiap orang maka akan tercipta kerukunan dalam masyarakat sehingga kehidupan akan lebih damai.
9.      Unggah-ungguh
Unggah-ungguh merupakan salah satu bentuk etika atau sikap manusia Jawa dalam menempatkan diri ketika bergaul dengan sesamanya. Seseorang yang memiliki dan memahami sikap unggah-ungguh akan mengetahui bagaimana cara bergaul dan berperilaku dengan orang yang lebih muda, sederajat, lebih tua, atau yang memiliki jabatan tertentu, bahkan dalam situasi tertentu. Dengan menerapkan unggah-ungguh dalam bergaul maka akan tercipta hubungan yang harmonis. Seseorang yang memiliki unggah-ungguh akan dapat menempatkan diri dalam menjalin pergaulan dengan orang lain sesuai dengan tempat dan situasinya, empan papan. Istilah lain unggah-ungguh adalah suba sita.
10.  Jujur
Jujur merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun menganggap sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan dimiliki oleh setiap orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti, jujur bakal mujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan keberuntungan. Kebalikannya adalah goroh growah, yaitu orang yang berbohong akan mendapat kerugian. Jujur adalah salah satu sifat Nabi dan Rasul yaitu Shidiq.
11.  Rukun
Hidup rukun selalu menjadi dambaan manusia yang hidup bermasyarakat. Demikian pula pada masyarakat Jawa yang juga mendambakan kehidupan yang selalu cinta damai. Cinta damai dapat terwujud jika antarsesama anggota masyarakat tersebut dapat hidup rukun. Sehingga dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan rukun agawe santosa, yaitu bahwa hidup rukun sesama manusia akan membuat kehidupan menjadi sentosa.
12.  Kerja keras
Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras akan mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain. Sikap hidup semacam ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa ubet, ngliwet yaitu siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan hasilnya. Di samping itu, dalam bekerja manusia Jawa juga berprinsip bahwa bekerja tidak melihat pada besar kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi lebih mementingkan apa yang harus dikerjakan. Hasil menjadi perkara belakangan, sebagaimana ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe. Etos kerja ini sangat luar biasa karena menunjukkan semangat pengabdian yang besar. Orang yang bekerja dengan semangat pengabdian ini sangat diperlukan dalam membangun bangsa.
13.  Tanggung jawab
Tanggung jawab merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh manusia Jawa. Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan tinggal glanggang colong playu yang arti harfiahnya meninggalkan gelanggang dan secara diam-diam melarikan diri. Ungkapan ini merupakan sindiran bagi seseorang yang suka lepas tangan, cuci tangan dari tanggung jawab yang seharusnya diembannya. Oleh karena itu, perilaku tinggal glanggang colong playu harus dihindari karena merupakan perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria sejati.
14.  Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi
Merasa ikut memiliki, merasa wajib membela. Sikap ini wajib dimiliki oleh setiap orang agar keadaan dan situasi terjaga dengan baik. Dengan merasa memiliki orang akan punya keinginan untuk menjaga dan melestarikan serta membela sesuatu yang menjadi miliknya. Sikap ini sangat tepat untuk ditanamkan kembali pada generasi ditengah-tengah keterpurukan bangsa. Bila generasi muda memiliki sikap ini mereka akan berupaya untuk turut berperan dalam memperbaiki kondisi bangsa dan tidak justru merusak citra bangsa.
15.  Memayu hayuning bawana
Memayu berarti membuat selamat. Sedangkan bawana berarti bumi. Memayu hayuning bawana merupakan sikap dan tindakan untuk menjaga keselamatan dan kelestarian bumi. Sikap ini perlu ditanamkan pada semua orang, termasuk generasi muda agar kerusakan bumi dapat dicegah sehingga bumi tetap lestari. Bila bumi terjaga maka manusia juga terhindar dari bencana, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya. Memayu hayuning bawanajuga bisa diterjemahkan sebagai sikap dan tindakan menjaga keselamatan bumi dari segi ketenteraman dan kedamaian. Jika penghuni bumi ini saling bertengkar dan berperang maka bumi pun akan rusak.
Dari kesemua sifat yang telah dipaparkan, dapat kita simpulkan bahwa karakter baik orang jawa adalah karakter Nabi dan Rasul. Karena 15 sifat yang telah diuraikan adalah sifat-sifat terpuji, maka sangat sesuai dengan sifat dan karakter Nabi dan Rasul. Sebagaimana kita ketahui bahwa para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia terpilih dengan sifat dan karakter yang istimewa.  
Dapat kita bandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan bangsa Arab pun tidak seramah orang jawa. Jika ada sesama Muslim misalnya kehujanan dan berteduh di depan rumah, maka belum tentu dipersilahkan masuk. Begitu juga ketika seseorang lewat di depan orang yang sedang duduk, belum tentu mereka permisi (mengatakan punten sambil membungkuk seperti orang jawa). Atau juga, jika kita berpapasan biasanya menyapa dan memberikan senyuman (Shodaqoh paling murah) kepada orang yang kita temui di perjalanan. Di bangasa lain belum tentu akan menemukan sifat dan karakter seperti ini, terkecuali orang tersebut adalah Nabi atau Rasul.
Wallahu alam.....

No comments:

Post a Comment