Saturday, September 8, 2012

MUNGGA SUWUNAN


Oleh: Ibnu Malik, S.Pd.I.

Tak banyak orang tahu tentang unik dan kayanya peninggalan kebudayaan tanah Cirebon. Seperti panjang jimat, nadran, muludan,nujuh bulan, puputan, mudun lemah, dan lain sebagainya. Termasuk salah satunya Mungga Suwunan yang saya temui di Desa Cempaka, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon.
Pada umumnya masyarakat setempat akan melaksanakan acara Mungga Suwunan ketika mereka sedang membangun rumah. Secara etimologi, Mungga Suwunan terdiri dari dua kata yaitu Mungga yang artinya naik dan suwunan yang  artinya atap. Sedangkan menurut istilah, Munggga Suwunan adalah naiknya kayu yang akan dipasang pada rangka atap paling atas. Acara ini dilaksanakan pada saat rumah sudah sampai pada tahap mendirikan kuda-kuda atau rangka atap.
Ada syarat yang harus dilakukan sebelum kayu tersebut naik dan dipasang di atas. Pertama,Kayu yang akan dipasang sebelumnya dimandaikan dahulu dengan air kembang tujuh rupa. Kemudian didandani layaknya manusia. Namun, proses mendandani ini lebih dekat kepada mendandani mayat. Karena setelah kayu dibedaki dan diberi minyak wangi, kayu dibungkus dengan kain kafan dan kain warna merah sehingga terlihat seperti bendera merah putih.Selain itu ada juga yang sengaja memasang bendera merah putih,jadi tidak perlu memasang kain kafan.
Kedua, Setelah kayu naik kemudian dipasang aksesoris lainnya, seperti; payung, dua buah kelapa, tebu, kain lapis tujuh, daun bamboo muda,kain kafan, dan dedaunan khusus lainnya. Benda yang digantung tersebut memiliki makna filosofi yang berbeda. Selain memiliki makna filosofi, kriteria benda tersebut juga tertata dengan baik. Payung yang dipasang misalnya, hanya boleh menggunakan payung warna hitam. Kain yang digunakan sebanyak tujuh buah dan harus jenis kain samping (tidak boleh sarung).
Pada umumnya, acara Mungga Suwunan hanya dikenal di pedesaan. Karena mereka masih memegang teguh dan menjungjung tinggi adat istiadat leleuhur. Namun seiring perkembangan zaman, sudah semakin jarang orang yang melakukannya. Selain terlihat rumit, semakin sedikit orang yang mengetahuinya,
Mungga Suwunan tidak lagi menjadi acara penting bagi sebagian Warga Cirebon. Dapat dilihat pada pembangunan Perumahan Cempaka wangi Regency misalnya. Sudah 30 buah rumah dibangun tanpa melaksanakan Mungga Suwunan. Bisa dimaklumi karena mayoritas penduduk setempat adalah warga pendatang. Begitu juga developer perumahan tersebut juga adalah asli dari priangan timur.
Namun tidak hanya itu, sebagian besar masyarakat Cirebon yang telah menempuh pendidikan di luar daerah tidak lagi mengingat dan melaksanakan adat budaya Cirebon. Apa lagi yang tinggal di daerah perkotaan sudah sangat langka orang yang melaksanakan upacara adat.
Para budayawan dan pengagum budaya Cirebon sudah mulai mengenalkan kembali khasanah budaya dan adat Cirebon. Kalangan keraton,  akademisi, dan beberapa pihak ada yang masih peduli akan kekayaan budaya Cirebon. Namun jumlahnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan para pelaksana hiburan modern.
Kondisi yang sangat memprihatinkan ini ditambah parah dengan mulai banyak munculnya para penggemar budaya dari luar negeri,  Malaysia misalnya. Sudah lama orang dari negara tetangga ini mencari dan membeli beberapa kitab kuno dari Cirebon. Bahkan untuk satu kitab saja, mereka berani menghargai sampai 10 juta Rupiah. Pusaka-pusaka seperti keris, badik, ukiran, dan lain-lain sudah banyak yang dibeli oleh para pecinta barang antik dari Malasyia.
Sangat memprihatinkan, karena barang-barang antik tersebut sebenarnya selain punya nilai sejarah, ada beberapa nilai keilmuannya yang tidak ada di tempat manapun di dunia kecuali Cirebon. Salah satunya kitab yang berisi penjelasan tentang keris Cirebon yang tidak dapat dibaca oleh sembarang orang. Kitab Syekh Siti Jenar tentang ajaran tasawufnya, hanya disimpan di keraton dan tidak diperbanyak karena berbahaya untuk aqidah umat.
Selain kitab dan pusaka, Cirebon juga mempunyai peninggalan budaya yaitu wayang. Wayang golek dan kulit keduanya merupakan alat dakwah para wali. Dengan wayang, para wali menyebarkan Agama Islam di tanah Nusantara. Dengan wayang, mereka menebarkan niai-nilai kesholehan sosial, agama, dan memperbaiki perilaku manusia. 
Namun pada saat ini, wayang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Cirebon khususnya. Wayang yang seharusnya dikembangkan, kini malah tergantikan oleh wayang-wayang dari Barat.
Seaseme Street yang merupakan acara untuk anak-anak, ternyata mengadopsi model alatnya dari wayang. Namun bentuk dan tokoh yang berbeda. Ini adalah salah satu teknik kaum Barat dalam mengikis budaya dan karakter bangsa kita. Masyarakat Indonesia dibuat lupa terhadap budayanya dan berganti kepada Budaya Barat. Acara Seaseme Street bahkan diadopsi oleh sebagian kalangan di Indonesia menjadi acara Jalan Sesama dan menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, Indonesia sudah sejak lama punya warisan budaya yang disebut wayang. Bahkan jika kita amati, wayang asli Indonesia lebih kaya makna, nasihat, dan sejarah yang tinggi.
Sudah saatnya generasi muda mulai mengkaji, melestarikan, dan memunculkan kembali budaya dan adat istiadat kita sebagai karakter bangsa. Bangsa Indonesia yang kaya budaya, SDA, SDM, dan peninggalan sejarah. Saya yakin, jika nilai-nilai budaya, SDA, SDM, dan lainya diolah dengan maksimal Indonesia dapat menjadi negara yang dihargai, dihormati, dan disegani di mata dunia. Seperti pada saat Presiden Soekarno dengan percaya diri menyatakan keluar dari PBB. Presiden pertama kita percaya denga sepenuh hati bahwa rakyatnya mampu berdiri dan membangun tanpa harus bergantung kepada pihak asing. Bangkitlah Bangsa Indonesia dan genggamlah dunia. Negeri ini milik kita. 

No comments:

Post a Comment