Oleh:
Ibnu Malik, S.Pd.I.
Tak banyak orang tahu
tentang unik dan kayanya peninggalan kebudayaan tanah Cirebon. Seperti panjang
jimat, nadran, muludan,nujuh bulan, puputan,
mudun lemah, dan lain sebagainya. Termasuk salah satunya Mungga Suwunan
yang saya temui di Desa Cempaka, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon.
Pada umumnya masyarakat
setempat akan melaksanakan acara Mungga
Suwunan ketika mereka sedang membangun rumah. Secara etimologi, Mungga Suwunan terdiri dari dua kata yaitu Mungga yang artinya naik dan suwunan yang artinya atap. Sedangkan menurut istilah, Munggga Suwunan adalah naiknya kayu yang
akan dipasang pada rangka atap paling atas. Acara ini dilaksanakan pada saat
rumah sudah sampai pada tahap mendirikan kuda-kuda atau rangka atap.
Ada syarat yang harus
dilakukan sebelum kayu tersebut naik dan dipasang di atas. Pertama,Kayu yang
akan dipasang sebelumnya dimandaikan dahulu dengan air kembang tujuh rupa.
Kemudian didandani layaknya manusia. Namun, proses mendandani ini lebih dekat
kepada mendandani mayat. Karena setelah kayu dibedaki dan diberi minyak wangi,
kayu dibungkus dengan kain kafan dan kain warna merah sehingga terlihat seperti
bendera merah putih.Selain itu ada juga yang sengaja memasang bendera merah
putih,jadi tidak perlu memasang kain kafan.
Kedua, Setelah kayu
naik kemudian dipasang aksesoris lainnya, seperti; payung, dua buah kelapa, tebu,
kain lapis tujuh, daun bamboo muda,kain kafan, dan dedaunan khusus lainnya. Benda
yang digantung tersebut memiliki makna filosofi yang berbeda. Selain memiliki
makna filosofi, kriteria benda tersebut juga tertata dengan baik. Payung yang
dipasang misalnya, hanya boleh menggunakan payung warna hitam. Kain yang
digunakan sebanyak tujuh buah dan harus jenis kain samping (tidak boleh
sarung).
Pada umumnya, acara Mungga Suwunan hanya dikenal di
pedesaan. Karena mereka masih memegang teguh dan menjungjung tinggi adat istiadat
leleuhur. Namun seiring perkembangan zaman, sudah semakin jarang orang yang
melakukannya. Selain terlihat rumit, semakin sedikit orang yang mengetahuinya,
Mungga Suwunan tidak
lagi menjadi acara penting bagi sebagian Warga Cirebon. Dapat dilihat pada
pembangunan Perumahan Cempaka wangi Regency misalnya. Sudah 30 buah rumah
dibangun tanpa melaksanakan Mungga Suwunan. Bisa dimaklumi karena mayoritas
penduduk setempat adalah warga pendatang. Begitu juga developer perumahan tersebut juga adalah asli dari priangan timur.
Namun tidak hanya itu,
sebagian besar masyarakat Cirebon yang telah menempuh pendidikan di luar daerah
tidak lagi mengingat dan melaksanakan adat budaya Cirebon. Apa lagi yang
tinggal di daerah perkotaan sudah sangat langka orang yang melaksanakan upacara
adat.
Para budayawan dan
pengagum budaya Cirebon sudah mulai mengenalkan kembali khasanah budaya dan
adat Cirebon. Kalangan keraton,
akademisi, dan beberapa pihak ada yang masih peduli akan kekayaan budaya
Cirebon. Namun jumlahnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan para
pelaksana hiburan modern.
Kondisi yang sangat
memprihatinkan ini ditambah parah dengan mulai banyak munculnya para penggemar
budaya dari luar negeri, Malaysia
misalnya. Sudah lama orang dari negara tetangga ini mencari dan membeli
beberapa kitab kuno dari Cirebon. Bahkan untuk satu kitab saja, mereka berani
menghargai sampai 10 juta Rupiah. Pusaka-pusaka seperti keris, badik, ukiran,
dan lain-lain sudah banyak yang dibeli oleh para pecinta barang antik dari
Malasyia.
Sangat memprihatinkan,
karena barang-barang antik tersebut sebenarnya selain punya nilai sejarah, ada
beberapa nilai keilmuannya yang tidak ada di tempat manapun di dunia kecuali
Cirebon. Salah satunya kitab yang berisi penjelasan tentang keris Cirebon yang tidak
dapat dibaca oleh sembarang orang. Kitab Syekh Siti Jenar tentang ajaran tasawufnya,
hanya disimpan di keraton dan tidak diperbanyak karena berbahaya untuk aqidah
umat.
Selain kitab dan pusaka,
Cirebon juga mempunyai peninggalan budaya yaitu wayang. Wayang golek dan kulit
keduanya merupakan alat dakwah para wali. Dengan wayang, para wali menyebarkan
Agama Islam di tanah Nusantara. Dengan wayang, mereka menebarkan niai-nilai
kesholehan sosial, agama, dan memperbaiki perilaku manusia.
Namun pada saat ini,
wayang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Cirebon khususnya. Wayang yang
seharusnya dikembangkan, kini malah tergantikan oleh wayang-wayang dari Barat.
Seaseme
Street yang
merupakan acara untuk anak-anak, ternyata mengadopsi model alatnya dari wayang.
Namun bentuk dan tokoh yang berbeda. Ini adalah salah satu teknik kaum Barat
dalam mengikis budaya dan karakter bangsa kita. Masyarakat Indonesia dibuat
lupa terhadap budayanya dan berganti kepada Budaya Barat. Acara Seaseme Street bahkan diadopsi oleh
sebagian kalangan di Indonesia menjadi acara Jalan Sesama dan menggunakan
bahasa Indonesia. Padahal, Indonesia sudah sejak lama punya warisan budaya yang
disebut wayang. Bahkan jika kita amati, wayang asli Indonesia lebih kaya makna,
nasihat, dan sejarah yang tinggi.
Sudah saatnya generasi
muda mulai mengkaji, melestarikan, dan memunculkan kembali budaya dan adat
istiadat kita sebagai karakter bangsa. Bangsa Indonesia yang kaya budaya, SDA,
SDM, dan peninggalan sejarah. Saya yakin, jika nilai-nilai budaya, SDA, SDM,
dan lainya diolah dengan maksimal Indonesia dapat menjadi negara yang dihargai,
dihormati, dan disegani di mata dunia. Seperti pada saat Presiden Soekarno
dengan percaya diri menyatakan keluar dari PBB. Presiden pertama kita percaya
denga sepenuh hati bahwa rakyatnya mampu berdiri dan membangun tanpa harus
bergantung kepada pihak asing. Bangkitlah Bangsa Indonesia dan genggamlah
dunia. Negeri ini milik kita.
No comments:
Post a Comment