Oleh: Ibnu Malik, S.Pd.I.
Di hari yang cerah, seperti
biasa saya berangkat ke kantor dengan penuh harap dan asa. Cita-cita diri dan
keluarga yang sedang menjadi “topik” utama pikiran saya membuat hari-hari
terasa penuh dengan perjuangan. Setiap langkah yang saya laksanakan semata
karena Allah. Karena tiada tujuan dan cita-cita selain untuk mengabdi pada-Nya.
Menjelang dzuhur telepon
genggam saya berdering. Ketika saya angkat ternyata yang menelepon adalah ibu. Dengan
nada gembira, ibu bilang bahwa saat itu sudah siap untuk berangkat dari kampung
untuk berangkat menemui saya di Cirebon. Saat itu juga perasaan senang campur gelisah
memenuhi pikiran saya karena sudah lama ingin bertemu. Namun saya belum menyiapkan penyambutannya.
Menjelang sholat ashar,
saya berusaha menghentikan semua aktifitas pekerjaan walapun masih ada yang
belum terselesaikan. Segera saya keluar dari ruangan dan menuju tempat makan
paforit saya dan istri yaitu Bebek Goreng. Pikir saya, pasti ibu akan suka
makanan tersebut karena saya dan istri
sangat menyukainya. Ini juga dikarenakan harga yang cukup mahal untuk
mendapatkan bebek goreng yang terkenal itu.
Dalam perjalanan pulang
ke rumah saya menyempatkan diri untuk menelepon ibu yang masih dalam
perjalanan. Ternyata, ibu lupa jalan menuju rumah saya. Maklum, baru dua kali
berkunjung. Di sinilah kembalai saya mendapat ujian dengan munculnya perasaan
kesal kepada ibu. Astaghfirullah. Entah
karena kecapean atau apa, namun yang jelas perasaan saya agak kesal karena ibu
belum juga ketemu. Sekali lagi saya mengalami kekalahan dalam memerangi amarah.
Selang 1 jam, akhirnya
saya dapat menemukan ibu yang sedang menunggu di pinggiran jalan. Dengan wajah
lelahnya ia mengatakan bahwa agar cepat menuju rumah karena sudah kangen kepada
cucunya. Wajah gembira terlihat pada ibu walau menunggu lama jemputan saya.
Itulah mulianya ibu, walau anak membuatnya kesal namun tidak ada amarah
padanya. Satu lagi saya mendapat pembelajaran dari hidup tentang besarnya cinta
dan kasih sayang ibu pada anaknya.
Sesampainya di rumah, ibu
mendapati istri dan anak saya sedang menunggu di halaman rumah. Dengan
antusias, ibu memeluk sang cucu dan langsung memeluknya. Kembali rasa
kebahagiaan terpancar dari wajah ibu yang sedang merasakan kelelahan sehabis
perjalanan.
Setelah semuanya masuk ke
dalam rumah, barulah saatnya menjamu dan makan bersama. Bebek goreng yang saya
beli, saya sajikan khusus untuk ibu. Saya bilang bahwa bebek tersebut adalah
bebek goreng terkenal di Cirebon dan Kartosuro. Rasa dan aromanya pun enak. Seperti
bahasa promosi, saya terus mengajak ibu dan Bapak tukang ojek yang mengantar
untuk makan bersama.
Di saat yang bersamaan,
ibu mengeluarkan barang bawaannya yaitu oncom goreng kesukaan saya sejak kecil.
Selain itu, ada juga ayam goreng kepala kesukaan istri yang baunya sudah
tercium sejak bungkusan itu dibuka. Kami menyantap makanan tersebut dengan
lahapnya namun di luar perkiraan, ibu hanya mencicipi bebek goreng yang saya
sajikan sambil berkata bahwa ibu belum pernah makan bebek. Mulailah perasaan
saya heran karena selama ini menyukai makanan tersebut.
Tanpa putus asa saya
masih mengajak ibu makan dengan lauk yang lain walau seadanya. Namun ibu
terlihat belum ada nafsu makan. Tanpa sepengetahuan saya, ibu pergi ke dapur
dan melihat sepotong telur dadar sisa makanan sang cucu. Kemudian bilang kepada
istri mau makan dengan telur dadar itu. Hati saya semakin sedih, karena merasa
belum bisa menyenangkan ibu. Ibu sangat mengerti kesukaan anak dan menantunya,
namun saya sebagai anak ternyata belum bisa memahami ibu.
Sesuatu yang saya piker
ibu sukai ternyata belum tentu suka. Sesuatu yang mahal dan banyak digemari
orang, belu tentu ibu senang. Memberikan materi terkadang memberikan
kebahagiaan kepada ibu, namun tidak semua materi yang kita berikan dapat membahagiakannya.
Karena kebahagiaan bukan terletak pada banyaknya harta dunia yang diberikan
kepada ibu.
Hari semakin gelap dan
ibu harus segera pulang karena bapak di rumah sedang sakit. Kubawakan sedikit
makanan yang belum tentu ibu suka. Tetapi saya masih berharap ibu akan suka
walau sedikit yang dimakan. Karena pastinya adik-adik saya di rumah yang akan
mendapatkan “bagian” lebih banyak. Itu semua karena cinta dan sayang ibu pada
adik-adik.
Dengan wajah gembira, ibu
pamit pulang. Saya dan istri hanya bisa melambaikan tangan dan berdoa semoga
ibu selamat samapi tujuan. Tidak ada yang dapat saya berikan pada ibu. Tidak ada
yang dapat membahagiakannya selain keharmonisan dan kesejahteraan kami di
rumah. Sehatnya anak, istri, dan diri saya sudah merupakan kebahagiaan
untuknya. Ibu, ridhoilah kami.
Teguran hari ini untuk
saya. Tidak ada materi dan barang apa pun yang dapat menggantikan cinta ibu. Cinta
dan sayang ibu adalah kekuatan besar untuk kesuksesan anaknya. Ibu memahami
kita, tetapi belum tentu kita memahaminya. Sadarlah kawan, ibu lebih tahu diri kita karena dari
mulai di alam rahim ibu memperhatikan dan merawat kita sampai sekarang. Bahkan
sampai berrumah tangga pun ibu akan tetap memperhatikan kita karena cintanya.
Ketahuilah, kita baru
sedikit memahami ibu dan sangat kecil bakti kita. Ketika ingin memberikan
sesuatu kepadanya barulah mencari tahu apakah kesukaan ibu. Itu pun setelah
kita dewasa dan mulai ingin memberi.
Ketidakpahaman saya
kepada makanan kesukaan ibu menyadarkan saya bahwa sebagai anak belum mampu
berbakti. Segunung emas tidak dapat membalas jasa dan pengorbanan ibu dalam
merawat anaknya. Apa lagi hanya sekadar mencari makanan kesukaannya, itu pun
masih belum tepat. Yaa Allah, ampunilah saya. Ibu ridhokan anakmu yang belum
bisa mengertimu.
No comments:
Post a Comment