Tuesday, November 13, 2012

Belajar dari hidup

Pagi itu seperti biasa saya bangun tidur jam 7.30 WIB. Teman-teman saya terlihat sedang asyik bermain di halaman rumah tetangga. Kuhampiri mereka dan ikut gabung dalam permainan yang sedang dimainkan. Seperti biasa, saya tetap merasa menjadi orang yang selalu terlambat karena ketika yang lain sudah pada kelelahan dan bosan dengan permainan, saya malah baru mulai.
Begitu juga ketika hendak berangkat sekolah, saya biasanya jam 7.30 baru berangkat dari rumah. Namun untungnya jarak antara rumah dengan sekolah sangat dekat. Tidak ada sedikitpun perasaan beban bahwa saya terlambat. Padahal saya sampai di kelas jam 7.40 WIB.
Memang ada semacam perasaan acuh dalam diri saya. Termasuk dalam beberapa hal, saya terkadang tak perduli. Misalnya dalam hal pakaian, saya tidak terlalu memperhatikan. Ketika anak-anak yang lain tidak memakai dasi, saya memakai dasi namun tidak sepatu. Banyak teman-teman saya yang menertawakan.
Orang tua saya keduanya pedagang dan selalu sibuk dengan usahanya setiap hari. Ibu seorang penjual bakso dan Bapak pedagang pakaian waktu itu. Sampai saya usia 10 tahun, hidup kami berkecukupan. Apa yang diminta oleh saya hampir seluruhnya dikabulkan. Bahkan ketika anak-anak lain belum punya sepeda Federal (Speda paling mahal kala itu), saya sudah punya. Padahal untuk mengayuhnya saja saya harus sambil berdiri dan tidak duduk di jok. Karena tinggi badan saya yang belum mencukupi.
Dengan kondisi ekonomi yang serba berkecukupan, saya pun selalu bayar spp tepat waktu. Ketika sekolah memberikan tenggang waktu dan masa angsuran selama 1 tahun, orang tua saya membayarnya denga tunai. Besar spp saat itu adalah Rp. 10.000,-, uang yang sangat besar kala itu karena harga bensin  saja masih Rp. 600,- / liter.
Selain pembayaran spp yang lunas sebelum masa angsuran, saya juga diajarkan menabung oleh Bapak dan ibu. Setiap hari saya diberi uang khusus untuk ditabungkan sebesar Rp. 1.000,-. Jumlah yang cukup besar, karena jumlah tersebut adalah jumlah cicilan spp yang biasanya orang lain bayarkan setiap bulan.
Keadaan seperti ini telah membuat saya sombong. Di setiap aktifitas bersama teman-teman, saselalu mendominasi pembicaraan. Ke mana kami hendak bermain, sayalah yang menentukan. Bahkan terkadang, jika salah satu teman ada yang tidak disukai saya minta untuk dijauhi. Pada beberapa hal, saya suka menyuruh dan member upah atas apa yang dikerjakan teman saya.
Selain itu, jika ada anak yang nakal kepada saya Bapak saya langsung memarahinya. Paahal saya nakal lebih dahulu kepadanya. Tidak tanggung-tanggung, ketika dia mengaji kami datangi dan sedikit memarahinya.
Namun keadaan berubah seketika. Ketika saya masuk kelas 4 SD, usaha Bapak saya bangkrut. Semua tanah, motor, dan harta benda lainnya habis terjual untuk menutupi utang. Yang tertinggal hanya gerobak bakso milik ibu saya dan beberpa pakaian yang bisa terpakai.
Andalan ekonomi kami tinggal ibu. Namun penghasilannya tidak sebesar dahulu. Karena sudah semakin banyak para pedagang bakso menjamur di desa saya. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja ibu saya harus pinjam dari tetangga. Lauk yang dahulu kami makan adalah ayam dan ikan, kini hanya garam dan terasi.
Dalam kondisi ini Bapak saya sampai tidak bisa membeli sandal untuk sehari-hari. Sandalnya yang putus, beliau berusaha menyembungnya. Begitu juga ketika lebaran tiba, kami harus rela menjual Televisi agar dapat membeli baju baru untuk saya dan adik-adik saya. Padahal televise tersebut adalah kesayangan kami.
Spp yang dahulu saya bayar sebelum jatuh tempo, kini saya harus mengangsur bahkan hampir satu tahun saya belum dapat melunasinya. Yang biasanya saya bersepeda bersama teman-teman, kini saya harus gigit jari karena sepeda saya telah terjual untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ditambah lagi, karena dahulu saya tidak pernah meminjamkan sepeda kepada teman, saat ini keadaan berbalik. Saya yang tidak diberi pinjaman sepeda oleh mereka.
Dalam keprihatinan ini, hati dan pikiran saya mulai tersadarkan. Saya mulai menerima keadaan bahwa saat itu saya bukan orang berkecukupan lagi. Kami sekarang adalah orang miskin. Rumah pun numpang di rumahnya salah satu Kiyai Pesantren di desa. Kebetulan saja beliau berbaik hati karena telah akrab sejak Bapak saya masih muda dahulu.
Pada kondisi yang serba kekurangan, saya berusaha hidup dan mencapai keinginan.  Lagi-lagi saya ingin punya sepeda, namun apa daya. Orang tua saya tidak mampu untuk membelikan, karena keadaan usaha Bapak tidak seperti dulu. Bahkan penghasilannya belum dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga Ibu saya harus mencari uang tambahan dengan cara jualan makanan keliling.
Semakin hari saya merenung, ternyata nasib manusia bagaikan roda. Suatu saat berada di atas dan ada saatnya pula di bawah. Namun rasa kaget dan belum terbiasanya saya menerima kondisi kehidupan sperti ini, membuat saya kadang-kadang berlaku kurang wajar. Marah-marah tanpa sebab, meminta sesuatu yang harganya mahal, dan lain sebagainya. Kondisi ini sangat lain dibandingkan dengan adik saya yang pada saat itu tidak banyak permintaan. Mungkin karena usianya yang masih kecil di bawah saya.
Akhirnya, hati yang sakit ini mulai tersadarkan. Saya mulai mau untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari dan membiasakan diri sebagai orang yang serba kekurangan. Saya mulai mengaji kembali ke pesantren dekat rumah. Di sana saya bermain dan melupakan segala beban.  Saya kembali merebut masa kanak-kanak yang seharusnya dipenuhi dengan bermain dan belajar. Keadaan psikis diri saya mulai terkendali dan menerima keadaan hidup.
Dengan ini pula saya sadar bahwa hidup bukan hanya karena harta. Harta bukanlah segalanya dan tidak bias membeli segalanya. Dengan tidak adanya harta, saya dapat merenung dan memperbaiki diri.

No comments:

Post a Comment