Pagi itu seperti biasa saya
bangun tidur jam 7.30 WIB. Teman-teman saya terlihat sedang asyik bermain di
halaman rumah tetangga. Kuhampiri mereka dan ikut gabung dalam permainan yang
sedang dimainkan. Seperti biasa, saya tetap merasa menjadi orang yang selalu
terlambat karena ketika yang lain sudah pada kelelahan dan bosan dengan
permainan, saya malah baru mulai.
Begitu juga ketika hendak
berangkat sekolah, saya biasanya jam 7.30 baru berangkat dari rumah. Namun
untungnya jarak antara rumah dengan sekolah sangat dekat. Tidak ada sedikitpun
perasaan beban bahwa saya terlambat. Padahal saya sampai di kelas jam 7.40 WIB.
Memang ada semacam perasaan acuh
dalam diri saya. Termasuk dalam beberapa hal, saya terkadang tak perduli.
Misalnya dalam hal pakaian, saya tidak terlalu memperhatikan. Ketika anak-anak
yang lain tidak memakai dasi, saya memakai dasi namun tidak sepatu. Banyak
teman-teman saya yang menertawakan.
Orang tua saya keduanya pedagang
dan selalu sibuk dengan usahanya setiap hari. Ibu seorang penjual bakso dan
Bapak pedagang pakaian waktu itu. Sampai saya usia 10 tahun, hidup kami
berkecukupan. Apa yang diminta oleh saya hampir seluruhnya dikabulkan. Bahkan
ketika anak-anak lain belum punya sepeda Federal
(Speda paling mahal kala itu), saya sudah punya. Padahal untuk mengayuhnya saja
saya harus sambil berdiri dan tidak duduk di jok. Karena tinggi badan saya yang
belum mencukupi.
Dengan kondisi ekonomi yang serba
berkecukupan, saya pun selalu bayar spp tepat waktu. Ketika sekolah memberikan
tenggang waktu dan masa angsuran selama 1 tahun, orang tua saya membayarnya
denga tunai. Besar spp saat itu adalah Rp. 10.000,-, uang yang sangat besar
kala itu karena harga bensin saja masih
Rp. 600,- / liter.
Selain pembayaran spp yang lunas
sebelum masa angsuran, saya juga diajarkan menabung oleh Bapak dan ibu. Setiap
hari saya diberi uang khusus untuk ditabungkan sebesar Rp. 1.000,-. Jumlah yang
cukup besar, karena jumlah tersebut adalah jumlah cicilan spp yang biasanya
orang lain bayarkan setiap bulan.
Keadaan seperti ini telah membuat
saya sombong. Di setiap aktifitas bersama teman-teman, saselalu mendominasi
pembicaraan. Ke mana kami hendak bermain, sayalah yang menentukan. Bahkan
terkadang, jika salah satu teman ada yang tidak disukai saya minta untuk
dijauhi. Pada beberapa hal, saya suka menyuruh dan member upah atas apa yang
dikerjakan teman saya.
Selain itu, jika ada anak yang
nakal kepada saya Bapak saya langsung memarahinya. Paahal saya nakal lebih dahulu
kepadanya. Tidak tanggung-tanggung, ketika dia mengaji kami datangi dan sedikit
memarahinya.
Namun keadaan berubah seketika.
Ketika saya masuk kelas 4 SD, usaha Bapak saya bangkrut. Semua tanah, motor,
dan harta benda lainnya habis terjual untuk menutupi utang. Yang tertinggal
hanya gerobak bakso milik ibu saya dan beberpa pakaian yang bisa terpakai.
Andalan ekonomi kami tinggal ibu.
Namun penghasilannya tidak sebesar dahulu. Karena sudah semakin banyak para
pedagang bakso menjamur di desa saya. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari saja ibu saya harus pinjam dari tetangga. Lauk yang dahulu kami
makan adalah ayam dan ikan, kini hanya garam dan terasi.
Dalam kondisi ini Bapak saya
sampai tidak bisa membeli sandal untuk sehari-hari. Sandalnya yang putus,
beliau berusaha menyembungnya. Begitu juga ketika lebaran tiba, kami harus rela
menjual Televisi agar dapat membeli baju baru untuk saya dan adik-adik saya. Padahal
televise tersebut adalah kesayangan kami.
Spp yang dahulu saya bayar
sebelum jatuh tempo, kini saya harus mengangsur bahkan hampir satu tahun saya
belum dapat melunasinya. Yang biasanya saya bersepeda bersama teman-teman, kini
saya harus gigit jari karena sepeda saya telah terjual untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Ditambah lagi, karena dahulu saya tidak pernah
meminjamkan sepeda kepada teman, saat ini keadaan berbalik. Saya yang tidak
diberi pinjaman sepeda oleh mereka.
Dalam keprihatinan ini, hati dan
pikiran saya mulai tersadarkan. Saya mulai menerima keadaan bahwa saat itu saya
bukan orang berkecukupan lagi. Kami sekarang adalah orang miskin. Rumah pun
numpang di rumahnya salah satu Kiyai Pesantren di desa. Kebetulan saja beliau
berbaik hati karena telah akrab sejak Bapak saya masih muda dahulu.
Pada kondisi yang serba
kekurangan, saya berusaha hidup dan mencapai keinginan. Lagi-lagi saya ingin punya sepeda, namun apa
daya. Orang tua saya tidak mampu untuk membelikan, karena keadaan usaha Bapak
tidak seperti dulu. Bahkan penghasilannya belum dapat mencukupi kebutuhan
keluarga. Sehingga Ibu saya harus mencari uang tambahan dengan cara jualan
makanan keliling.
Semakin hari saya merenung,
ternyata nasib manusia bagaikan roda. Suatu saat berada di atas dan ada saatnya
pula di bawah. Namun rasa kaget dan belum terbiasanya saya menerima kondisi
kehidupan sperti ini, membuat saya kadang-kadang berlaku kurang wajar. Marah-marah
tanpa sebab, meminta sesuatu yang harganya mahal, dan lain sebagainya. Kondisi
ini sangat lain dibandingkan dengan adik saya yang pada saat itu tidak banyak
permintaan. Mungkin karena usianya yang masih kecil di bawah saya.
Akhirnya, hati yang sakit ini
mulai tersadarkan. Saya mulai mau untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari dan
membiasakan diri sebagai orang yang serba kekurangan. Saya mulai mengaji
kembali ke pesantren dekat rumah. Di sana saya bermain dan melupakan segala
beban. Saya kembali merebut masa
kanak-kanak yang seharusnya dipenuhi dengan bermain dan belajar. Keadaan psikis
diri saya mulai terkendali dan menerima keadaan hidup.
Dengan ini pula saya sadar bahwa
hidup bukan hanya karena harta. Harta bukanlah segalanya dan tidak bias membeli
segalanya. Dengan tidak adanya harta, saya dapat merenung dan memperbaiki diri.
No comments:
Post a Comment