Cirebon Merdeka Lebih Dulu
Begitu Jepang kalah perang, Sjahrir
ingin kemerdekaan Indonesia dikumandangkan secepatnya. Proklamasi Cirebon
dibacakan lebih cepat. Tugu berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai
pensil itu berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan, Cirebon.
Tugu yang sama, dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman
Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama.
Tak banyak warga Cirebon tahu dua
tugu tersebut merupakan saksi sejarah. Di tugu itu, pada 15 Agustus 1945, dokter
Soedarsono membacakan teks proklamasi. ”Hanya para sesepuh yang mengingat itu
sebagai tugu peringatan proklamasi 15 Agustus,” tutur Mondy Sukerman, salah
satu warga Cirebon yang aktif dalam Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai
Sosialis Indonesia. Kakek Mondy, Sukanda, aktivis Partai Sosialis Indonesia,
hadir saat proklamasi ini dibacakan di kota udang itu.
Saat Soedarsono membacakan teks
proklamasi, sekitar 150 orang memenuhi alun-alun Kejaksan. Sebagian besar
anggota Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Cirebon memang merupakan salah
satu basis PNI Pendidikan.
Soedarsono sendiri adalah tokoh
gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Setelah siaran radio BBC pada
14 Agustus 1945 mewartakan kekalahan Jepang oleh Sekutu, Sjahrir berambisi
menyiarkan kemerdekaan Tanah Air secepatnya. Sjahrir menunggu Bung Karno dan
Bung Hatta untuk menandatangani teks proklamasi sebelum 15 Agustus 1945.
Sjahrir khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian
dari diskusi pertemuan antara Soekarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi di Saigon.
Ternyata harapannya tidak tercapai.
Ada dua versi asal-usul penyusunan
teks proklamasi versi Cirebon. Menurut Maroeto Nitimihardjo, lewat kesaksian
anaknya, Hadidjojo Nitimihardjo, Soedarsono tak pernah menerima teks proklamasi
yang disusun Sjahrir. Maroeto adalah salah satu pendiri PNI Pendidikan.
Informasi diperoleh Maroeto ketika
bertemu dengan Soedarsono di Desa Parapatan, sebelah barat Palimanan, saat
mengungsikan keluarganya selang satu hari sebelum teks dibacakan di Cirebon.
Soedarsono mengira Maroeto membawakan teks proklamasi dari Sjahrir.
”Saya sudah bersepeda 60 kilometer
hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir,
saya akan membuat proklamasi di Cirebon,” ungkap Hadidjojo dalam buku Ayahku
Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan, yang pekan-pekan
ini akan diterbitkan. Sayang, jejak teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono
tak berbekas. Tak ada yang memiliki dokumennya.
Kisah berseberangan diungkap Des
Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurut Des, teks proklamasi yang dibacakan
Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya.
Penyusunan teks proklamasi ini,
antara lain, melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu
Bakar Lubis. Penyusunan teks dikerjakan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta,
pada 13 Agustus. Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong
para anggota gerakan bawah tanah.
Des hanya mengingat sebaris teks
proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah: ”Kami bangsa Indonesia dengan
ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan
siapa pun juga.”
Dalam buku Rudolf Mrazek berjudul
Sjahrir, Sjahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks
itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. ”Pada dasarnya menggambarkan
penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau
diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain,” kata Sjahrir seperti ditulis
dalam buku Mrazek. Sjahrir pun mengatakan kehilangan teks proklamasi yang
disimpannya.
Selain mempersiapkan proklamasi,
Sjahrir dengan semangat tinggi mengerahkan massa menyebarkan ”virus”
proklamasi. Stasiun Gambir dijadikan arena untuk berdemonstrasi. Stasiun radio
dan kantor polisi militer pun sempat akan diduduki. Kala itu, Des dan
sekelompok mahasiswa bergerak hendak membajak stasiun radio Hoosoo Kyoku di
Gambir agar teks proklamasi tersebar. Usaha tersebut gagal karena Kenpeitai
menjaga rapat stasiun radio tersebut. Tapi
simpul-simpul gerakan bawah tanah terus bergerak cepat, menderu-deru dari satu
kota ke kota lain, menyampaikan pesan Sjahrir. Dan keinginan Sjahrir agar
proklamasi Indonesia segera didengungkan itu pun sampai di Cirebon.
(majalah.tempointeraktif.com)
Diunduh:
Jumat, 25 Maret 2011. Pukul 15.00 WIB
No comments:
Post a Comment